Cari Blog

Apa yang menarik dari Psikodrama?

Kategori : Tanpa Kategori, Ditulis pada : 06 Oktober 2022, 02:44:35

Sensasi ketubuhan. Itu kata yang cukup untuk menggambarkan bagaimana psikodrama memberi nuansa yang unik, sensual dan selalu baru.

Menarik karena psikodrama, memungkinkan kita menghadirkan banyak ragam dan cara untuk merespons setiap yang disampaikan Sang Konduktor.

Menarik, karena ruang-ruang emosi diijinkan untuk hadir mewakili apa yang dirasakan, bukan apa yang dipikirkan.

Maka pertanyaan yang paling sering didengar adalah: apa yang kamu rasakan? Apa yang dirasakan kakimu, saat ini? Apa yang dirasakan tubuhmu saat ini?

 

Sabtu-Minggu 17 – 18 September 2022.

Kami berkumpul dalam satu sesi dengan topik: Self-Healing. Banyak yang bertanya, apa itu self-healing? Apa bedanya dengan workshop? Apa bedanya dengan self-healing dengan metode sejenis yang lainnya? Datang jauh-jauh dari Jakarta, ternyata kami hadir berkumpul Bersama rekan dari Cirebon, Semarang, Tangerang dan tentunya tuan rumah: Bandung. So, Why? Apa yang membuat kami semua melakukan hal tersebut? Apakah karena harganya?

Buatku sih, tentu yang utama adalah Sang Konduktor. Dari sekian “pertemuan”, aku selalu mendapat “challenge” yang membawaku pada kesadaran baru. Padahal, itu bukan sesuatu yang baru. Tapi, selaku ada 1 – 2 kalimat yang melekat, yang ternyata membawaku pada tahap yang lebih baik. Kalimat sejenis: “don’t fed your ego”, “mimpi itu, jangan dianalisis – tapi diwujudkan” selalu menjadi pengikat baru dari setiap sesi Bersama The Iip. Dan uniknya, kata, kalimat serta refleksi tersebut, hadir dari sesi-sesi Psikodrama yang di-conduct oleh Teh Iip.

Lalu, apa “oleh-oleh” dari sesi tersebut? Kami berproses selama 2 hari. Kami menangis, tiba-tiba kami tertawa. Menangis tersedu-sedu, tertawa pun terbahak-bahak. Eh, lalu kami menangis lagi. Dan diantaranya, ragam refleksi hadir sebagai bagian dari kami memproses kembali setiap peristiwa situasi, hingga ragam perkataan yang membuat kami “stuck” di tahap/periode tersebut. Kami melakukan prosesi “self-healing” dengan cara yang unik sekaligus mencerna Kembali hadirnya tokoh-tokoh dalam situasi tersebut, dari berbagai perspektif/sudut pandang. Kami menghadirkan Kembali situasi tertentu, namun dengan cara baru, hingga terbuka cara pandang yang baru, atas situasi tersebut. Lalu, bagaimana?

It is, as it is. Apapun yang terjadi, terjadilah. Apakah semua beres? Tentu tidak. Buatku pribadi, setiap sesi, punya keunikannya sendiri dalam cara ia menemaniku. Itulah sebabnya, ku selalu tertarik untuk mengikuti, mendalami, mencoba lagi, sampai ikut terlibat dri berbagai komunitas. Selalu menyenangkan bisa “bertemu” dengan diriku, melalui cara-cara yang unik. Dan inilah yang kudapat. Bertema Self-Healing, namun sejatinya healing sejati adalah menerima setiap yang terjadi, hingga menemukan Kembali refleksi-refleksi baru untuk memperkuat apa yang bisa dan apa yang telah kulakukan.

 

Maka, inilah aku. Menanggapi instruksi sederhana: bayangkan anda dalam satu perjalanan menuju dan sampai ke puncak gunung. Akan jadi apa anda disana? Peragakan. Dalam hitungan 1, 2, 3 – hap! Hap – kuspontan berdiri diatas sofa (map lho the. Hehe). Menjadi apa? Menjadi Tugu! Dalam narasinya,disampaikan “rasakan sensasi ketubuhan”. Emosi apa yang anda rasakan? Apa yang ingin disampaikan?

Tidak lama. Narasi pun, disampaikan secara sederhana tanpa mendayu-dayu atau berpanjang-panjang. Ajaib - perilaku spontan yang kuhadirkan atas pertanyaan ”mau jadi apa di puncak gunung?” nyatanya mendorong sensasi ketubuhan yang diawali dari pijakan kaki yang terasa rapuh, gak ajeg. Tapi nyatanya, aku berdiri pada posisi yang tinggi. Debar-debar jantung ku pun kerasa banget, seolah mengingatkan ku akan banyaknya rasa khawatir, cemas, dan takut. Tapi sekali lagi, aku ada di posisi tinggi. Mengingatkanku tentang apa?

 

Hemh, pijakan yang terasa gak ajeg, sepertinya memang mencerminkan keadaanku yang tidak bisa sampai pada “puncak” seorang diri. Tiba-tiba kudisadarkan oleh banyaknya doa, harapan, senyum, serta ragam ikhtiar dan Tindakan yang telah dihadirkan oleh orang-orang sekitarku. Bahwa sejatinya, tidak ada sukses yang mampu kucapai, tanpa bantuan/pertolongan/ hadirnya orang lain. So, masih mau sombong? Masih mau tidak bersyukur? Masih mau tidak berkolaborasi? Masih mau membatasi diri, kah? Masih takutkah untuk memperbanyak ikhtiar? Lalu tiba-tiba kutersenyum. Senyum syukur atas setiap kebaikan yang telah hadir dalam hidupku. Senyum, atas setiap gagal dan kesulitan yang telah membersamaiku. Nyatanya, gak apa-apa gagal, karena hadirnya gagal itu, membawaku sampai di sini.

So, jadi apa aku? Jadi Tugu! Sebagai penanda bahwa aku sudah “touch-down”. Apapun bentuk “puncak”, selama ku berhasil menyelesaikan satu Langkah, itulah puncak-ku. Dan sekali lagi, ada doa orang-orang baik yang menyertaiku. Berbagi, Kolaborasi

Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi banyak manfaat?

Refleksi tambahan, setiap yang sudah dipuncak, mesti turun lagi..

;D

Salam Sehat, Bahagia, Indonesia

messenger icon
messenger icon Chat Dengan Kami
built with : https://mycommerce.id